output-writing

Addiction Apocalypse

Zom100

Kita hidup pada masa zombie apocalypse, tapi nggak semengerikan mayat yang beringas gigit sana-sini. Namun, hidup di tengah kerumunan yang tiada kontrol dan kehausan makna.

Berapa lama kita bermain meremas-remas otak dengan jari melalui aplikasi, sampai saraf kita mengernyit, menghasilkan suara di mulut berupa gumaman, “hehe,” “oh,” “wew,” atau “hmmm.”

Kita terinfeksi dengan segala yang instan, enak, murah, mendambakan stimulan. Menyumbat kehampaan dengan candu, menyumbar kebencian terhadap kebosanan. Kita bisa saja dibuat babak belur, bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh sang keheningan yang hanya mampir lima menit.

Coba posisikan diri kita masih berupa manusia seutuhnya, tapi di hadapan ada zombie. Apakah kita mau ketularan jadi dia? Mana sudi! Lalu, gimana caranya biar nggak digigit? Dua pilihan: lari atau lawan. Jangan asal lari, nanti panik kesandung, apalagi asal lawan, sama saja dengan bundir. Maka dari itu, supaya tidak jadi zombie, kita perlu latihan. Kalau di masa ini nggak mau latihan? Ya sudah, auto Game Over. Zombie ada di mana-mana, termasuk di saku pakaian kita.

Sekarang dibalik, coba posisikan diri kita sebagai manusia yang terlanjur jadi zombie. Apakah kita akan mampu berpikir? Gimana rasanya? Sulitkah mengendalikan diri? Apa kita sadar? Gimana caranya sembuhin diri biar balik jadi manusia? Mana saya tahu, kita kan zombos huooo.

Tanpa sadar, kita adalah zombie yang rindu menjadi manusia.